Translate

Minggu

Aceh MOU





5 Tahun MoU Helsinki, Aceh Masih Hadapi Tantangan Berat

* GAM: MoU Helsinki Masih Simpan Persoalan
Mantan Wapres Jusuf Kalla ( kanan) besama mantan Menhan GAM Zakaria Zaman (kedua kiri)BANDA ACEH - Perdamaian Aceh yang kemarin genap berumur lima tahun, dianggap masih belum matang serta penuh liku dan tantangan yang menghadang. “Nikmat damai ini wajib kita syukuri. Namun, masih banyak hal yang perlu kita lakukan. Aceh masih jauh tertinggal dari daerah lain. Pembangunan Aceh ke depan merupakan tantangan bagi perdamaian sekarang ini yang sudah memasuki tahun kelima,” kata Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Hal itu diungkapkannya pada Puncak Peringatan Lima Tahun MoU Helsinki di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Minggu (15/8) sore. Acara yang dihelat dalam suasana sederhana namun penuh makna dan khidmat itu dihadiri seluruh unsur Muspida Aceh, sejumlah tokoh masyarakat, dan hampir 2.000 masyarakat umum.

Di antaranya hadir Kapolda Aceh Irjen Pol Fajar Prihantoro, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Hambali Hanafiah, Kajati Aceh Halili Toha SH, Wakil Ketua DPRA Amir Helmi SH, Ketua FKK Damai Aceh, Mayjen Amiruddin Usman, Kepala Kantor Perwakilan Uni Eropa di Banda Aceh John Penny, Ketua MAA Badruzzaman, akademisi dan Imam Masjid Raya Baiturrahman, Prof Dr Tgk Azman Ismail MA.

Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2005 Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat menandatangani kesepahaman damai di Helsinki, Finlandia yang kemudian disebut dengan MoU Helsinki. Dalam perjanjian itu, Pemerintah RI diwakili Hamid Awaludin (ketika itu menjabat Menkumham) dan GAM diwakili Tgk Malik Mahmud. Sejak tinta perdamaian itu ditorehkan di atas kertas, konflik bersenjata berkepanjangan yang mendera Aceh dengan merenggut ribuan korban jiwa, berangsung-berangsur pulih. Hingga kemarin pun, saat momen bersejarah itu kembali diperingati di usia lima tahun, kondisi Bumi Serambi Mekkah masih tetap kondusif dari berbagai pergolakan konflik masa silam. Sejarah penting itu pula yang kemarin kembali diingatkan Gubernur Irwandi Yusuf dalam pidatonya yang tanpa teks.

Menurut Gubernur, fase konflik telah terlewatkan, kini Aceh memasuki fase yang tidak kalah beratnya, yakni ketika para pihak berupaya untuk merintis jalan damai. Ada pun fase tersebut, kata mantan juru runding GAM ini, adalah fase mengisi perdamaian dengan berbagai karya nyata pembangunan untuk kesejahteraan rakyat Aceh.

Dia akui, pembangunan Aceh saat ini masih jauh tertinggal dibanding daerah lain dalam berbagai bidang pascalima tahun konflik Aceh berakhir. Termasuk juga masih terjadinya kesenjangan sosial di beberapa sektor vital pemerintahan. Seperti adanya kesenjangan dan mutu pendidikan antara desa dan kota serta pembangunan infrastruktur yang belum merata.

Dia sebutkan, Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai terobosan dalam upaya mendongkrak taraf hidup rakyat Aceh. Kebijakan ini ditandai dengan peluncuran beberapa pilot proyek. Tiga di antarnya yang paling “populer” adalah program beasiswa kepada ribuan anak yatim korban konflik dan korban tsunami yang telah digagas sejak 2008-2010. Untuk program ini, kata Irwandi, pemerintah merogoh kocek APBD hingga Rp 200 miliar per tahun. Program “berani” lainnya yang dilucurkan Pemerintah Aceh, menurut Irwandi, adalah di sektor kesehatan, yakni diluncurkannya program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang menelan biaya Rp 243 miliar untuk masa enam bulan pada tahun 2010.

Di samping itu, kata Irwandi, pemerintah juga telah mengirim 1.000 lebih mahasiswa Aceh ke luar negeri menggunakan bantuan beasiswa yang disalurkan Pemerintah Aceh melalui Komisi Beasiswa Aceh (KBA). Lima tahun lagi, menurut Irwandi, akan terlihat signifikan mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Aceh, jika para magister dan doktor yang belajar dengan bantuan beasiswa dari Pemerintah Aceh itu kembali dan bekerja untuk Aceh. “Hal-hal seperti ini yang untuk ke depan terus kita pikirkan, untuk satu tujuan agar adanya kemakmuran bagi seluruh rakyat,” katanya.

Pada acara yang dirangkai dengan penglepasan burung merpati putih oleh Gubernur, Pangdam, Kapolda, Ketua DPRA, Kajati, Ketua BRA, dan Iman Besar Masjid Raya Baiturrahman itu turut diisi dengan tausyiah oleh Rektor IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA. Dalam tausyiahnya, Guru Besar Pascasarjana IAIN Ar-Raniry ini mengulas perjalanan panjang asal mula munculnya berbagai konflik dalam sejarah dunia, di dalam Islam, hingga perang Belanda melawan Aceh dan pergolakan konflik Aceh dengan pemerintah RI yang menelan banyak korban jiwa.

“Konflik tidak selamanya dilihat sebagai satu segmen perjalanan sejarah yang negatif. Tapi di balik perseteruan antarpihak, konflik juga dapat memberikan nilai-nilai positif bagi kehidupan umat manusia,” kata Farid sambil mencontohkan konflik Aceh. “Setelah Aceh damai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki, kini banyak kemudahan telah dirasakan rakyat Aceh. Di samping telah adanya jaminan keamanan, saat ini Aceh juga menjadi lumbungnya “rupiah”. Banyak kucuran dana yang jumlahnya triliunan rupiah mengalir ke Aceh pascakonflik dan tsunami. Sayangnya, dana yang banyak itu hanya dinikmati oleh pihak yang enjoy-enjoy saja,” sindirnya.

Acara peringatan puncak lima tahun damai Aceh itu juga dimeriahkan dengan penampilan artis Idola Cilik asal Aceh, Rahmi dengan membawa lagu daerah berjudul “Tanoh Lon Sayang” dan musikalisasi puisi “Seribu Seulanga” karya Fikar W Eda oleh Zulfikar. Ketua Panitia, A Hamid Zein melaporkan ada 45 mata acara yang digagas panitia menyemarakkan lima tahun Aceh damai ini. Puncak peringatan MoU Helsinki kemarin, menurutnya, merupakan agenda yang ke-17. Masih ada seabrek kegiatan lagi yang akan dilaksanakan hingga akhir September 2010.

Peringatan lima tahun Aceh damai yang dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman kemarin juga sempat diwarnai berbagai pernyataan sikap elemen sipil dan partai lokal (parlok) di Aceh, seperti Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).  Ketua Umum DPP SIRA Muhammad Taufik Abda mengatakan, dalam rangka memastikan pengaturan kewenangan Aceh dalam semua sektor publik, kecuali dalam enam sektor, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama, maka pihaknya juga akan mendorong adanya Gerakan Aksi Rakyat Dukung Amandemen Kewenangan Aceh dalam UUD 1945.

Penilaian GAM
Pihak GAM punya penilaian lain. Usai penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia lima tahun lalu, nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu dinilai GAM masih menyimpan sedikit persoalan.  Hal itu dikatakan juru runding dari GAM, Teungku Malik Mahmud, seusai acara peringatan lima tahun Helsinki di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (15/08). Acara ini terselenggara atas prakarsa PMI, IPI, dan Pacta Finlandia.

“Ada beberapa persoalan yang dipikir juga, pokoknya saya tidak bisa bicarakan,” ujar Malik Mahmud. Terkait pernyataan Jusuf Kalla bahwa persoalan RI-GAM sudah terselesaikan, menurut Malik, ada beberapa poin penting yang belum mencapai kesepakatan. Namun, ia enggan menyebut secara mendetail poin-poin tersebut. Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla mengharapkan MoU Helsinki haruslah menjadi MoU konflik yang terakhir kalinya di negeri ini. Pasalnya, setiap terjadi konflik akan membutuhkan upaya kemanusiaan yang berat.

“Mudah-mudahan ini yang terakhir kalinya. Kita tidak ingin lagi MoU selanjutnya untuk menyelesaikan konflik,” ungkapnya saat berpidato paca acara peringatan lima tahun MoU Helsinki di Ballroom Four Seasons Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (15/8) sore.

Belum serius
Dari Meulaboh dilaporkan, Direktur Lembaga Kajian Politik dan Sosial Aceh (LeKaPSA), Mursyidin SAg MA menyatakan, dalam perjalanan lima tahun perdamaian Aceh masih banyak pekerjaan dan persoalan di tengah-tengah masyarakat yang belum diselesaikan Pemerintah dan DPR Aceh, sehingga masih banyak masalah yang tersisa. Bahkan ada kesan Pemerintah dan DPR Aceh tidak serius bekerja maupun dalam mengambil kebijakan, sehingga persoalan itu terus berlarut.

“Sebagai salah satu contoh ketidakseriusan Pemerintahan Aceh adalah penyelesaian pembangunan Jalan Banda Aceh–Meulaboh yang dibiayai USAID. Ini telah berlarut-larut dan sudah berkali-kali suara rakyat di pantai barat dan selatan Aceh agar jalan tersebut segera diselesaikan,” ujar Mursyidin di sela-sela diskusi publik merayakan lima tahun perdamaian Aceh dengan tema Transformasi Aceh Menuju Budaya Damai.(serambi indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar